HEADLINEHUKUM & KRIMINALPERISTIWAPOLITIK & PEMERINTAHANTERKINI

Mantan Peserta  Aksi 212 Nilai Ide Pasukan Militer Islam dan Mufaraqah, Akan Berdampak Pada Pembubaran NKRI, Sangat Berbahaya

Peserta Aksi 212, Haris Budi Kuncahyo, S.Ag. M.Si

Malang,Maduranewsmedia.com– Setelah mengikuti Ijtima’ Ulama ke 4 di Lorin Hotel, Sentul Sirkuit, Bogor. pada Senin (5/08/2019), mantan Peserta aksi 212, Haris Budi Kuncahyo, S.Ag. M.Si menyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI) ini tidak bertentangan dengan Syariah Islam, sehingga kemerdekaan hingga pembentukan nya juga melibatkan Ulama, Kiai dan Para Patriot di negeri ini sebagai Bumi Syuhada’ “Maka tidak perlu istilah NKRI Bersyariah,”, kata Gus Haris panggilan akrabnya Haris budi Kuncahyo, Rabu (07/08/2019)

Dikatakan dia, saat ini telah menyebar luas pendapat pro dan kontra yang terkait hasil Keputusan Ijtima’ Ulama IV yang dilaksanakan di Lorin Hotel, Sentul Sirkuit, Bogor. Keputusan itu antara lain; Menolak kekuasaan yang zalim, serta mengambil jarak dengan kekuasaan tersebut, Menolak putusan hukum yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan,Mengajak masyarakat berjuang dan memperjuangkan, Penegakan hukum terhadap penodaan agama , sesuai amanat undang-undang, Mencegah bangkitnya ideologi markisme, komunisme dalam bentuk apapun.

Keputusan lainnya adalah  Menolak semua perwujudan kapitalisme dan liberalisme seperti penjualan aset negara kepada setiap orang asing, Pembentukan tim investigasi tragedi pemilu 2019, menghentikan agenda pembubaran ormas islam dan menghentikan kriminalisasi ulama. Serta memulangkan Habib Rizieq Shihab tanpa syarat apa pun, mewujudkan NKRI yang syariah dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi, perlunya ijtima ulama dilembagakan sebagai wadah musyawarah antara habaib dan ulama serta tokoh untuk terus meningkatkan kemaslahatan agama, bangsa dan negara,Perlunya dibangun kerja sama antara ormas Islam dan politik, menyerukan kepada umat Islamuntuk mengonversi simpanan dalam bentuk logam mulia,membangun sistem kaderisasi sebagai generasi penerus Islam yang tangguh dan berkualitas. Dan meminta perhatian khusus terhadap isu dan masalah substansial tentang perempuan, anak dan keluarga melalui berbagai kebijakan dan peraturan yang tidak bertentangan dengan agama dan budaya.

Ditjelaskan Gus Haris, giat Ijtima ‘Ulama yang dibuka oleh Habib Rizieq Sihab melalui Teleconfrence dari Makkah tersebut mayoritas dihadiri oleh Eks HTI, FPI, GNPF, GISS, Hawariyun, SAPA, DDII, dan PA 212 serta sebagian individu individu Relawan Prabowo Sandi serta lintas wartawan berbagai media baik cetak, elektronik, televisi dan online telah menimbul  Pro dan Kontra Publik. “Waspadalah, kegiatan Ijtima Ulama ke-4 tersebut berbeda dengan substansi utama dari awal munculnya Gerakan Umat Islam 212, gerakan tersebut “mirip” separatis religius !!!”, terang Gus Haris yang juga peserta aksi massa 212 ini.

Gus Haris yang sedang menempuh Program Doktor Sosiologi Politik di Universitas Muhammadiyah Malang ini juga mengingatkan pada Pemerintah Republik Indonesia khususnya kepada Presiden RI Jokowi, Panglima TNI, Kapolri, MPR dan DPR, BIN dan Bakesbangpol serta MUI dan Kementerian Agama RI hingga tokoh NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis dan Hidayatullah agar lebih pro aktif mempertegas sikapnya bahwasannya kegiatan Ijtima Ulama ke-4 yang baru saja di adakan bisa “membahayakan Persatuan dan Kesatuan Warga NKRI”, karena ada beberapa gagasan pemikiran yang diduga kuat akan berpihak kepada langkah langkah “separatisme religius”, yaitu poin 3.6, poin 4 dan poin 6.

Sebab kata dia,  dalam pandangan analisis sosial politik Gus Haris  (panggilan akrab Haris Budi Kuncahyo Deklarator PENA 98) ini, poin 3.6 sudah terjawab dengan sila pertama dari Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa; sedangkan apa yang termaktub dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika dan Bendera Merah Putih tidak ada kalimat yang mengajarkan kesyirikan dalam perspektif Teologi Islam. “Bahkan NKRI ini mayoritas didirikan oleh para Ulama, para Kyahi. Sehingga kalimat NKRI Bersyariah itu jelas secara filologis hermeunetis bisa dimaknai sebuah keinginan mewujudkan Negara Agama atau Teokrasi, atau dalam bahasa lain bisa mengarah pada Negara Islam Indonesia (NII), hal ini dapat membangun embrio perpecahan karena konsepsi Teokrasi dalam Sejarah Islam tidak ada, yang ada adalah “teomorpis” yaitu masyarakat berketuhanan”, masyarakat beragama”, tambah Gus Haris yang juga alumni Ponpes Salafiyah Panggung Tulungagung ini.

Selanjutnya kata Gus Haris “pelembagaan Ijtima’ Ulama sebagaimana tertulis pada poin 4 dalam rapat terbukanya hendak merubah menjadi MPUII (Majelis Permusyawaratan Ulama Islam Indonesia) hanya akan memperkuat pertikaian dengan MUI dan Umat Islam di Tanah Air kita, seharusnya terus dengan ikhlas saling memberi nasehat dan sikap kesabaran untuk memberikan rekomendasi pada MUI, maka hadirnya MPUII lebih berkonotasi melemahkan posisi MUI yang jelas mewakili keormasan Islam di Indonesia. *MUI terdiri dari NU, Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, Hidayatullah, NW, dan lain lain

termasuk seruan pada poin 6 yang mengajak untuk mengkonversi keuangan umat Islam menjadi logam mulia (baca: logam emas, Dinar dan dirham) juga akan menimbulkan rush money yang kurang bagus bagi iklim pertumbuhan ekonomi syariah. “Kita sudah faham bagaimana pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia makin menguat, termasuk gerakan fatwa MUI yang dipimpin KH Maruf Amin dan Komite Ekonomi Syari’ah Nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden RI Jokowi sejak 2016 hingga sekarang. Berkembangnya Perbankan Syariah, BPR Syariah, Koperasi Syariah dan BMT/LKM Syariah serta Asuransi Syariah adalah bukti nyata bahwa Pemerintah RI sejak pasca reformasi adanya dukungan kuat untuk mendukung berkembangnya peredaran keuangan syariah yang kompetitif dengan dinamika keuangan konvensional,” urainya.

Gus Haris meminta agar  poin 3.6 yang menyatakan Ayat Kitab Suci di atas Ayat Konstitusi; poin 4 institusionalisasi Ijtima’ Ulama yang akan menjadi MPUII; hingga ajakan untuk konversi keuangan menjadi logam mulia harus dihentikan. “Siapakah yang berhak menghentikan?  yang berhak menghentikan adalah Pemerintah RI dalam hal ini Presiden RI. Sebab, beberapa poin 3.6, poin 4 dan poin 6 tersebut akan berpotensi pada penguatan disparitas persatuan dan kesatuan umat Islam dan rakyat Indonesia. Perlunya pihak BIN, Kapolri dan Panglima TNI untuk memanggil Panitia Ijtima’Ulama mempertanggung jawabkan siaran persnya dan menjelaskan secara tertulis, hal ini tidak bisa kita anggap kabar lewat saja untuk kepentingan keutuhan dan kedaulatan NKRI,”.katanya.

Lebih lanjut Gus Haris mengqtakan,sebagai anak bangsa tidak boleh menilai NKRI ini dari satu perspektif kekurangan saja, tetapi juga harus melihat secara adil dan terbuka terhadap kemajuan dan peningkatan kepedulian Pemerintah RI terhadap umat Islam. Kita sudah punya Ketuhanan Yang Maha Esa, jelas faham anti agama dan kepercayaan, faham liberalisme, faham fasisme dan faham kapitalisme tidak boleh berkembang. Kita sudah punya MUI dan kita sudah punya UU dan Perbankan Syariah. Terkait uang yang beredar baik uang kartal, uang giral dan lain lain semua sudah tersedia di link keuangan syariah. Sikap yang berseberangan dan mendekonstruksi kepercayaan publik pada kelembagaan NKRI, MUI dan UU Syariah adalah embrio lahirnya “separatisme religius” yang berdampak pada disentegrasi ukhuwah Umat Islam di negeri ini bahkan bisa meningkatkan konflik vertikal dan horisontal sesama rakyat Indonesia.

“Kemarin saya juga mendengar ada ungkapan ingin mendirikan Pasukan Militer sendiri, ingin mufarraqoh secara nasional (tidak mengakui adanya Pemerintah) dll itu jelas sikap sikap yang bisa memperkuat keretakan nasional, sikap separatisme yang menjadi musuh bagi kedaulatan NKRI”, tegas Gus Haris yang mengikuti acara Ijtima’Ulama ke-4 hingga selesai.

Gus Haris yang juga sebagai Deklarator Indonesia Damai, pada acara Musyawarah Pemuda se-Jatim  ini sehari sebelum terjadinya Pembacaan Hasil Sidang MK terkait putusan Sengketa Pilpres 2019 ini menegaskan,  “Saatnya umat Islam di Indonesia untuk sportif, berprasangka baik dan tetap kritis dengan akhlaqul Karimah. Dekatilah penguasa dan sampaikan nasehat dan bersabarlah dengan semua keadaan dengan tetap menjaga Aqidah dan Tradisi yang membawa kemaslahatan bukan perpecahan sesama warga bangsa.” Ujarnya.

“Kadangkala kita belum bisa adil dan masih terbawa kepentingan kepentingan fanatisme kelompok, sehingga kita dibutakan hati dari sikap ilmiah kita *sehingga egois dan melupakan kemaslahatan umum*; melihat negeri ini selalu dalam pandangan yang pesimis dan keburukan saja, padahal kita memiliki UU Keuangan Syariah, Perbankan Syariah, MUI, Sila Pertama Pancasila yang tidak ada kompromi dengan perbuatan anti agama dan kepercayaan (komunisme) serta yang terpenting kita memiliki kemanusiaan yang adil dan beradab, untuk persatuan Indonesia dengan musyawarah bukan mufarraqoh, menasehati TNI dan Polri bukan mendirikan Pasukan Militer sendiri. Bila kesemuanya dijalankan dengan penuh kesadaran maka kita akan bisa mencapai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan milik umat beragama dan berkepercayaan tertentu saja,” imbuh Gus Haris yang juga Eksponen FAMI ini.

“Salah satu hal yang tidak boleh terlupakan oleh Umat Islam adalah bahwa *Islam itu selalu menginspirasi Rahmat Bagi Alam Semesta.* Sehingga apa yang dilakukan Muhammadiyah, NU, Al Irsyad, Persis, Hidayatullah, NW sudah cukup untuk menjadi teladan dalam berorganisasi dan mengembangkan Islam di Indonesia. Umat Islam di Indonesia harus sadar bahwa kita juga hidup berdampingan dengan Umat Hindu, Konghucu, Budha, Kristen dan Katolik; tidak sepantasnya kita umat Islam dengan sikap hegemonik menafikan kesetaraan dan kebersamaan hingga kemerdekaan yang lain apalagi menyangkut tata kelola negara dan bangsa”, jelas Gus Haris yang juga alumni Fakultas Tarbiyah UIN Malang dan Sosiologi Pedesaan UMM ini

Dalam keadaan saat ini menurut Gus Haris, rakyat sangat merindukan menguatnya warisan peradaban leluhur terhadap potret kehidupan *Gotong Royong* di Indonesia. Yaitu dengan tolong menolong dalam kebaikan dan bertaqwa serta menjauhi dari ajakan berbuat dosa dan permusuhan harus yang wajib dilaksanakan dan difahami secara komplementer.

Dia ingin baik tapi menciptakan keretakan pada yang lain, kita ingin tidak berdosa tetapi meningkatkan permusuhan, kebencian bahkan perpecahan bangsa dan negara adalah salah besar. Jokowi, Prabowo, Kyai Maruf Amin, Sandiaga Salahuddin Uno semua manusia biasa, pasti ada sisi baik dan maslahat nya. Kalau ada kekurangan itu sudah pantas sebagai hamba Tuhan dan tugas rakyat menasehati dengan baik dan sabar.

“Saatnya massa FPI, massa GNPF, massa GISS, massa PA 212, massa Hawariyun, massa SAPA, massa DDI, massa eks HTI untuk kembali berbaur bersama Muhammadiyah, Al Irsyad, Persis, Hidayatullah dan Nahdlatul Ulama untuk bersama sama dengan lintas Agama dan lintas Kepercayaan yang syah di NKRI ini  secara damai dan berpikiran konstruktif membangun dan mewujudkan Indonesia yang berperadaban, Indonesia Damai, Indonesia Adil dan Indonesia Berkah*”, demikian saran Gus Haris untuk semua komunitas di negeri ini.

“Indonesia Damai adalah Indonesia tanpa radikalisme, terorisme, dan kekerasan ideologis (anarkisme). Kita bukan seperti negara negara yang terus bertikai dan saling membunuh sesama umat Islam”, kupas Gus Haris.

Menurut Gus Haris, Indonesia Adil adalah rakyat yang kritis tetapi bersikap ilmiah dan tidak saling mengolok olok, tetapi bersikap kreatif untuk jalan keluar dengan solusi dan mempertimbangkan kemaslahatan dan keutuhan NKRI. Tidak hanya melihat kekurangan tetapi harus bersyukur untuk banyak mengingat kebaikan dan kemajuan bangsa ini. “Indonesia Berkah adalah kesadaran yang makin bertumbuh kembang mewujudkan perekonomian nasional yang tanpa ribawi, ekonomi nasional yang tidak dalam hegemoni dan otoritas jejaring ekonomi neo-imperialis dan neo-fasis tetapi ekonomi kerakyatan yang berbasis gotong royong, ekonomi Pancasila, ekonomi yang berdiri dan berdaulat serta berbudaya dengan kaki sendiri,”, terang Gus Haris.

Tetapi imbuh Gus Haris, kedamaian, keadilan dan keberkahan tidak mungkin terwujud bila NKRI ini terus bergolak dengan sikap saling menjatuhkan, saling bertikai bahkan menggunakan instrumentasi, mufarraqoh atau tidak mengakui keberadaan Pemerintah RI atas gerakan gerakan yang mengarah pada separatisme religius  yang bisa  “menyesatkan” bagi prospektus stabilitas ketahanan politik, ekonomi nasional dan edukasi wawasan kebangsaan bagi generasi ke depan yang menjadi tantangan bangsa bersama.”Separatis bertopeng Religius (mufarraqoh) adalah juga tantangan serius Indonesia ke depan yang bisa mengalahkan dari bahaya terorisme itu sendiri,” imbuh Gus Haris yang juga Eksponen PII, HMI dan GMNI ini.

Bilamana terus kekuatan separatis religius berkonsolidasi dan berkembang, akan terciptanya disparitas konflik nasional yang berkepanjangan. Sikap oposisi sangat diperlukan bagi negara Pancasila seperti Indonesia. Namun, sikap berlebih lebihan melihat dan bersikap negatif pada Pemerintahan adalah mirip gerakan Marxian yang itu bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu diperlukan kedewasaan sikap, jiwa patriotisme dan kebangsaan yang utuh. Sikap lunak *Bung Prabowo Subianto* yang bertemu dengan *Bung Jokowi* adalah teladan yang terbaik bagi negeri ini setelah *Bung Jokowi* mengundang *Bung Prabowo*. NKRI ini membutuhkan figur *KH Maruf Amin* yang komitmen dengan perjuangan ekonomi syariah nya agar Alloh SWT memberikan keberkahan, demikian pula kegiatan *Bang Sandiaga Salahuddin Uno* yang terus menggelorakan _Sosio Enterpreneurship_ melalui *Rumah Siap Kerja* dan *Ok Oce* nya adalah inspirasi mutual bagi upaya mengokohkan jejaring kewirausahaan dan kemandirian perekonomian rakyat di era globalisasi kapitalistik.

“Ayo kita semua, bersatu membangun negeri ini tanpa separatisme religius tetapi dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Umat Islam mampu menjadi teladan yang bisa membuat nyaman, damai dan kemaslahatan bagi umat lainnya sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW dapat mewujudkan *Piagam Madinah* bersama lintas agama dan kepercayaan di Madinah Al Munawwarah. Semua separatisme di Indonesia hanya akan menghacurkan NKRI ini berkeping keping dan berdarah darah, yang paling rugi adalah umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini”. Pesan tajam Gus Haris yang juga anggota Tim Perumus Hari Santri Nasional (HSN)

Pihak Pemerintah RI Pusat dan Daerah *agar menolak* kemungkinan rencana Ijtima’Ulama dan atau MPUI yang akan digelar sebelum Oktober 2019 diberbagai propinsi, sebab berdampak pada perpecahan kerukunan sesama umat Islam dan keutuhan NKRI, tambah Gus Haris pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur ini.(ris/shb)