HEADLINEPENDIDIKANPERISTIWATERKINI

Mantan TKI Malaysia Ini Enggan Menjadi TKI Lagi Setelah Ikut Program Eco Edufarming PHE WMO

Bangkalan,maduranewsmedia.com- Pagi itu sinar matahari di desa Bandang Dajah bersinar cerah, secerah wajah Marsudin (50) seorang mantan tenaga kerja Indonesia (TKI) Malaysia setelah melihat tanaman cabenya yang baru berumur 1 bulan lebih tumbuh dengan subur. Pria yang telah 11 tahun menjadi TKI ini pada tahun 2019 harus kembali ke kampungnya di desa Bandang Dajah kecamatan Tanjung Bumi kabupaten Bangkalan Madura.     

Pada saat menjadi TKI di Malaysia Marsudin menekuni pekerjaanya sebagai desain controuktion pada sebuah perusahaan besar di Malaysia, namun setelah beberapa bulan menetap di desanya, perasaan bingung mulai menghantui Marsudin, dalam benaknya berkecamuk sejumlah pertanyaan, akan kah dia bisa hidup di desa dengan tanah yang gersang ? untuk bertahan hidup, Marsudin terpaksa bertani dengan harapan bisa menghidupi keluarganya.

Bertani dengan pola tradisional Ia tekuni hampir 1 tahun, meskipun hasilnya tidak sepadan dengan tenaga dan biaya yang dia keluarkan, namun tidak ada pilihan lain bagi Marsudin, ia tetap bertani dilahan gersang yang hanya bisa ditanami setahun sekali pada saat musim hujan dan jenis tanamannya juga hanya dua jenis yaitu padi dan jagung.

Ditengah keputus asaanya menjalani hidup  sebagai petani tradisional, pada bulan Oktober tahun 2020  rasa gundah dan putus asa Marsudin mulai hilang dan secercah harapan terpampang didepan matanya, setelah  PHE WMO menggandeng kelompok tani Sangga Buana desa Bandang Dajah dan memberikan program  Eco Edufarming.

Setelah mengikuti program Eco Edufarming kurang lebih hampir 1 tahun, Marsudin bersama kelompok tani Sangga Buana semangta untuk mempraktekkan ilmu pertanianya mulai tumbuh dan pria dengan tiga orang ini mulai menanami lahan tidur dan gersang dengan beragam tanaman holtikultura  seperti tanaman jagung, Cabe besar, Cabe Kriting, Semangka, Tomat, Kacang Hijau, dan Bawang. “Alhamdulillah Tanah tadah hujan yang kalau kemarin ngak ditanami,  paling kalau ditanami kacang hijau sepetak, dua petak itupun tanamnya setahun sekali, namun setelah ikut program dari PHE WMO ini saya bisa tanam di lahan tandus dengan tanaman cabe rawit dan tomat, ada 1.200 pohon cabe yang saya tanam dan tanamannya tumbuh dengan bagus,” kata Marsudi sambil sesekali menghisap rokoknya.

Kini setelah adanya program Eco Edufarming dari PHE WMO ini, membuat Marsudin dan para petani mempunyai harapan baru dan penghasilan lebih dari bertani, sehingga mantan desain kontruktion di Malaysia ini enggan menjadi TKI lagi. “Ngak pak, saya ngak mau jadi TKI lagi, karena kemarin saya tanam cabe diatas lahan 3400 M2  ketika panen hasilnya Rp 37 juta, untuk apa saya jadi TKI lagi,” katanya.

Program Eco Edufarming dari PHE WMO ini telah memberikan bukti kepada masyarakat, dengan tehnologi pertanian, 15 orang yang tergabung dalam kelompok tani Sangga Buana Desa Bandang Dajah bisa menanam tanaman holtikultura di lahan yang tandus. “Program dari PHE ini sudah terbukti, melalui program ini masyarakat bisa belajar dan mendapatkan ilmu pertanian, kemudian kami mempraktekkan dan mengajarkan kepada masyarakat yang lain,” tutur Marsidin.

Manfaat dari program Eco Edufarming  PHE WMO ini  juga dirasakan oleh Ketua Kelompok Sangga Buana, jazi (45).  dia bersama 15 orang anggotanya bisa menanam 3 kali setahun setelah mengikuti program PHE WMO itu. “Dulunya kalau musim kemarau ngak ada petani yang tanam, Alhamdulillah dengan program Eco Edufarming ini kita bisa setahun 3  kali dengan 8 tanaman yang cocok, seperti semangka, Tomat, Cabe Lontong, Blewah dan  Bawang Merah,” terang Jazi.

Jazi bersama 15 orang anggota saat ini bisa bersyukur karena dengan program Eco Edufarming  PHE WMO lahan gersang dan tandus bisa ditanami berbagai jenis tanaman Holtikultura. “Kita sangat bersyukur karena lahan kita bisa produktif. Sebelum ada pendampingan kita hanya tanam jagung dan padi, setelah ada pendampingan ini kita tahu dan bisa caranya tanam. Cabe, tomat dan hasilnya alhamdulillah tanaman cabe 1 ton bisa menghasilkan uang sekitar Rp 2 juta, sebelum nya nol,” tuturnya.

Jazi Ketua kelompok tani Sangga Buana yang juga tokoh agama ini tertarik terhadap program Eco Edufarming  PHE WMO ini setelah percobaan tanam pertama berhasil. “Yang membuat saya semangat dan membuat saya tertarik dari program PHE ini, karena hasil pertama diawal percobaan saya telah mendapatkan ilmunya bagaimana  mengolah lahan tandus itu, dan sekarang saya sudah mandiri dan akan terus menanam,” ujar pria tiga orang anak ini..

Kepala desa Bandang Dajah, Mohammad Hasir mengaku senang dengan adanya program Eco Edufarming  PHE WMO ini, karena dengan adanya program tersebut masyarakat desa Bandang dajah mulai suka bertani. “Kalau dulu masyarakat disini ngak suka bertani, tapi  sekarang setelah ada program dari PHE banyak sudah yang suka bertani, semoga bantuan program dari Pertamina ini bisa dikembangkan,” kata Hasir sapaan akrabnya Kades Bandang Dajah ini.  

Mata pencarian masyarakat desa Bandang Dajah adalah petani, buruh bangunan, menjadi pengrajin tikar anyaman, nelayan dan menjadi TKI. “Jumlah penduduk desa Bandang Dajah ini sekitar 5 ribu, mereka ada yang jadi Petani, buruh bangunan, membatik, membuat tikar ayaman dari pohon aren, nelayan namun  mayoritas merantau ke luar daerah seperti ke Kalimantan, Arab Saudi, Brunai dan ke Malaysia,”terangnya.

Sementara itu, Relations Manager Regional 4 Indonesia Timur Sub Holding Upstream Pertamina,Iwan Ridwan Faizal menjelaskan, program Eco Edufarming ini merupakan Program CSR di desa Bandang Dajah kecamatan Tanjung Bumi. “Sistem pertanian hemat air dan organik yang digagas PHE WMO ini merupakan solusi untuk optimalisasi pemanfaatan lahan kering di Bandang daja. Kami terus melakukan pengembangan program, penguatan kelompok dan kedepan kami akan mendorong pembentukan kelembagaan berupa Bumdes atau Koperasi,” ujar Iwan

Dikatakan dia, tujuan program Eco Edufarming di desa Bandang Dajah ini untuk membangkitkan pertanian lokal dari kekeringan. “Program Edu Farming ini adalah program pertanian hemat air dan organik  yang bertujuan untuk membangkitkan pertanian lokal dari kekeringan dengan tehnologi tepat guna berupa inovasi irigasi tetes dan tumpang sari,” pungkasnya. (moh amin)